KEKERASAN PADA ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK, ISLAM DALAM TINJAUAN PSIKOLOGI DAN PENGARUHNYA DALAM PERSIAPAN GENERASI MUSLIM
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak
adalah individu unik, yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa,
baik dari segi fisik, emosi, pola pikir, maupun perlakuan terhadap anak
membutuhkan spesialisasi perlakuan khusus dan emosi yang stabil.
Pada
anak tertumpu tanggungjawab yang besar. Anak harapan masa depan bangsa
dan agama disandarkan. Anak adalah bapak masa depan, penerus cita-cita
dan pewaris keturunan. Bahwa anak adalah tunas bangsa, dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensial
bangsa dan negara pada masa depan.
Banyak
cara yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anak. Ada yang
mengutamakan kasih sayang, komunikasi yang baik dan pendekatan yang
lebih bersifat afektif. Ada pula yang menggunakan kekerasan sebagai
salah satu metode dalam menerapkan kepatuhan dan pendisiplinan anak.
Kekerasan pada anak, baik fisik maupun psikis dipilih sebagai cara untuk
mengubah perilaku anak dan membentuk perilaku yang diharapkan.
Kekerasan
yang terjadi pada anak tidak hanya terjadi didalam lingkungan keluarga
(rumah). Pemberitaan di media yang gencar akhir-akhir ini juga
menunjukkan bahwa kekerasan pada anak dapat terjadi dimana saja. Kasus
di Pontianak, dimana tiga orang anak
penghuni panti asuhan diperkosa oleh teman mereka sendiri (Liputan 6.
com, 2004) adalah satu dari sekian banyak kasus kekerasan pada anak yang
muncul ke permukaan dan yang tidak muncul kepermukaan diperkirakan
lebih banyak lagi.
Sering
pula kekerasan pada anak hadir tanpa kita sadari. Di sekolah–sekolah
bermunculan geng-geng yang bernuansa kekerasan, kekerasan yang dilakukan
oleh guru kepada siswanya, ataupun tawuran antar pelajar. Kekerasan
yang dilakukan disekolah yang marak di muat media belum lama ini, adalah
salah satu bukti kekerasan yang ada dilingkungan pendidikan. Kekerasan
disekolah merupakan suatu lingkaran setan, dimana senior biasanya
melampiaskan kemarahan kepada yunior, sebagaimana mereka diperlakukan
sebelumnya, dan ini akan berkelanjutan jika rantai kekerasan ini tidak
ditangani dengan segera. Disinilah peran pendidik dan pemegang kebijakan
disekolah memegang peranan yang sangat penting untuk memutus rantai
kekerasan ini. Jika kekerasan di sekolah ini tidak ditangani maka budaya
bullying dapat subur dan membudaya yang menyebabkan anak akan
membentuk geng-geng kekerasan di sekolah. Geng-geng inilah yang mewarnai
layar televisi akhir-akhir ini. Tawuran antar pelajar, yang disinyalir
sebagai kegagalan program dan kurikulum pendidikan. Sekolah, hanya
berhasil dalam penanaman teoritis akademis namun gagal dalam penerapan
nilai-nilai/akhlak. Akibatnya, anak diarahkan kesuatu jurang yang
menganga dan melintas diatas titian yang rapuh.
Lingkungan
rumah, dan sekolah adalah lahan subur dan sumber utama terjadinya
kekerasan, karena anak lebih banyak berinteraksi dengan
orangtuanya/pengasuh ataupun guru. Kasus anak jalanan adalah kasus yang
unik, dimana mereka hidup dijalan, mencari nafkah sendiri ataupun untuk
“agen” dari penyedia jasa anak. Banyak anak tidak dapat memperoleh haknya sebagai seorang anak.
Kasus-kasus
kekerasan anak dapat berupa kekerasan fisik, tertekan secara mental,
kekerasan seksual, pedofilia, anak bayi dibuang, aborsi, pernikahan anak
dibawah umur, kasus tenaga kerja dibawah umur, trafficking,
anak-anak yang dipekerjakan sebagai PSK, dan kasus perceraian. Semua
kasus ini berobjek pada anak yang tentu saja akan berdampak buruk pada
perkembangan dan kepribadian anak, baik fisik, maupun psikis dan jelas
mengorbankan masa depan anak.
Menurut
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Dr. Seto Mulyadi : Kekerasan pada anak
juga dipengaruhi oleh tayangan televisi yang marak akhir-akhir ini,
namun semua itu harus disikapi bijaksana oleh para orangtua, seperti
mengingatkan agar anak tidak banyak nonton sinetron televisi yang
menayangkan kekerasan. "Kita pernah melakukan dengar pendapat tentang
kekerasan yang ditayangkan televisi, namun semua itu adalah nafas dari
siaran televisi. Jadi, kita tidak bisa berkutik. Karena itu, orang tua
harus mengalah jangan menonton televisi sepanjang hari. Jika tidak
begitu, maka anak akan ikut-ikutan menonton televisi sampai larut dan
mengabaikan tugas utamanya, yaitu belajar," kata Seto. Ditambahkannya,
orang tua harus mampu menjadi contoh anak-anaknya untuk bertingkah laku
positif di rumah, seperti membelikan buku-buku cerita dan sekaligus
bersedia mendongeng untuk si anak. Sebaliknya, orang tua jangan hanya
bisa bercerita apa yang mereka tonton di televisi (Emmy Soekresno S. Pd).
Kasus
kekerasan pada anak adalah kasus yang sangat pelik. Dimana jenis
kasusnya yang beragam, interprestasi mengenai kekerasan pun masih penuh
dengan perdebatan. Sebagian orang menganggap bahwa kasus kekerasan
digunakan sebagai hak otonominya, dan bersifat pribadi, dan orang lain
tidak boleh mengetahuinya karena terhasuk aib yang harus ditutupi.
Dengan alasan ini, sehingga banyak kasus-kasus kekerasan tidak bisa
diungkap.
B. Maksud dan Tujuan
Karya
tulis ini bermaksud untuk menyadarkan dan mengubah pola pikir orangtua
dan pengasuh terhadap anak dengan tujuan untuk memperbaiki pola
interaksi dengan anak, menghindari tindak kekerasan pada anak karena
alasan apapun, mengubah pola pendidikan yang hanya berorientasi pada
nilai akademik dengan mengesampingkan akhlak aplikatif, melindungi anak
dalam segala hal, dan menciptakan lingkungan anak yang sehat secara
psikologis, untuk mempersiapkan mereka sebagai pemegang estafet
pembangunan, agar menjadi generasi muslim yang benar-benar
berkepribadian yang islami.
BAB II. PEMBAHASAN
1. Aspek-Aspek Kekerasan Pada Anak
Kekerasan yang terjadi pada anak bermacam-macam jenis kasusnya, sehingga perlu pembatasan mengenai dan jenis-jenis kekerasan.
Kekerasan terhadap anak dibagi dalam 4 bagian utama, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan karena diabaikan dan kekerasan emosi. Kekerasan fisik
adalah apabila anak-anak disiksa secara fisik dan terdapat cedera yang
terlihat pada badan anak akibat adanya kekerasan itu. Kekerasan ini
dilakukan dengan sengaja terhadap badan anak. Kekerasan seksual
adalah apabila anak disiksa/diperlakukan secara seksual dan juga
terlibat atau ambil bagian atau melihat aktivitas yang bersifat seks
dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu yang
bertujuan mengeksploitasi seks dimana seseorang memuaskan nafsu seksnya
kepada orang lain. Kekerasan karena diabaikan menurut Akta
Perlindungan Anak sebagai kegagalan ibu bapak untuk memenuhi keperluan
utama anak seperti pemberian makan, pakaian, kediaman, perawatan,
bimbingan, atau penjagaan anak dari gangguan penjahat atau bahaya moral
dan tidak melindungi mereka dari bahaya sehingga anak terpaksa menjaga
diri sendiri dan menjadi pengemis. Kekerasan emosi adalah
sekiranya terdapat gangguan yang keterlaluan yang terlihat pada fungsi
mental atau tingkah laku, termasuk keresahan, murung, menyendiri,
tingkah laku agresif atau mal development.
Dari
pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah segala
tindakan yang dilakukan terhadap anak baik fisik maupun psikis yang
merugikan anak, ataupun karena diabaikan.
2. Sumber-Sumber Pemicu Kekerasan pada Anak
Faktor-faktor
penyebab yang menjadi stimulus kekerasan (bullying) adalah feodalisme
(senior/yunior), pubertas pada masa remaja (pencarian jati diri), krisis
identitas, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ataupun kekerasan
disekolah. Sumber-sumber pemicu kekerasan terhadap anak bermacam-macam factor pencetusnya. Diantaranya:
1) Kemiskinan
Kemiskinan
adalah salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak.
Dengan keadaan ekonomi yang memprihatinkan, banyak kebutuhan-kebutuhan
anak menjadi tidak bisa terpenuhi. Sehingga anak terpaksa atau dipaksa
berkerja untuk mencari nafkah. Kemiskinan, menurut kajian KPAID, adalah
juga akar dari masalah trafficking (dalam Hadi Supeno, 2007).
Karena kemiskinan, banyak orang tua memaksa anaknya bekerja. Lebih
ironis lagi, menjadikan anak sebagai pekerja seks komersial.
Pernikahan
anak dibawah umur, yang akhir-akhir ini, banyak terdengar, juga
disinyalir bermula dari keadaan ekonomi. Pernikahan dilakukan dengan
iming-iming akan memberikan sesuatu bagi keluarga (orang tua) si anak.
Kemiskinan
kemungkinan mempunyai korelasi dengan intensitas perlakuan kekerasan.
Asumsi ini diperkuat dengan fakta dilapangan bahwa sejak krisis ekonomi
melanda Indonesia, angka kekerasan kepada anak juga meningkat. Data yang
perlu dicatat pula bahwa, jumlah anak yang masuk ke Panti Asuhan, dan
anak jalanan semakin meningkat pula. Anak-anak yang tinggal dipanti
asuhan dan yang hidup dijalanan sudah dapat dipastikan adalah korban
kekerasan. Pekerja anak dibawah umur, anak-anak yang dipekerjakan
sebagai PSK dan kasus pedofilia, biasanya berasal dari keluarga miskin,
atau tidak memiliki keluarga. Bisa juga karena anak dari hasil hubungan
gelap yang tidak diakui oleh orang tua mereka, dibuang begitu saja oleh
orang tuanya dengan maksud menghindar dari tanggung jawab moral dan
hukum. Ada sebagian dari anak ini yang mengalami cacat fisik, karena
sejak dalam kandungan anak ini tidak diharapkan, sehingga orang tuanya
berupaya segala cara untuk menggugurkannya.
2) Stres
Banyak
teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan dapat terjadi,
salah satu di antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam
keluarga (family stress) (dalam Indra Sugiarno). Stres dalam keluarga bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu.
a.
Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan
perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia
balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan
salah satu penyebab stres.
b.
Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan
jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa
lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau
tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin.
c.
Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (pemutusan
hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga
sering bertengkar.
3) Pengetahuan orang tua/pengasuh yang kurang
Pengatahuan
atau skill orang tua/pengasuh sangat berpengaruh pada bagaimana cara
berinteraksi dengan anak. Kebanyakan kasus kekerasan kepada anak banyak
disebabkan karena ketidak tahuan orangtua/pengasuh. Orangtua yang tidak
mengetahui bagaimana cara pengasuhan yang baik, kemungkinan menganggap
bahwa, hukuman fisik, ataupun psikis yang kelewatan, itu biasa-biasa
saja.
Orangtua
kadang tidak mengerti batas-batas kekerasan yang dilakukan terhadap
anaknya yang bisa ditolerir. Bagaimanapun juga, usia anak adalah usia
imitasi yang sangat dominan. Dengan perlakuan orangtua/pengasuh yang
salah, dia akan mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan objek imitasi
yang dilihatnya.
4) Dororongan Seksual yang tidak terkendali
Kekerasan
terhadap anak yang sangat memprihatinkan adalah kekerasan seksual.
Kekerasan seksual ini akan mengakibatkan trauma yang mendalam. Biasanya
anak yang mengalami trauma kekerasan seksual, akan menjadi pelaku
kekerasan seksual, ini merupakan sebuah mata rantai yang harus diputus
demi keselamatan generasi. Kekerasan seksual ini lebih banyak dilakukan
oleh orang-orang dekat anak. Kasus-kasus terakhir, lebih banyak
dilakukan incest oleh orangtua kepada anaknya, ataupun orangtua
kepada anak tirinya, paman, kakek, kakak ataupun yang lain, mempunyai
hubungan dekat dengan anak. Kekerasan seksual kepada anak ini semakin
meningkat, seperti yang dilaporkan pada kejadian di Amerika (Oprah,
Metro TV, Tanggal 11 April 2009, jam 11 WIB). Kasus yang terungkap hanya
sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya (fenomena gunung es), bahkan
pemunculan kasus baru melebihi jumlah kasus yang bisa ditangani.
5) Keberadaan anak yang tidak diinginkan
Anak
yang tidak diinginkan oleh orangtuanya, adalah salah satu dari korban
kekerasan. Orangtua yang tidak mengharapkan kehamilannya, sejak masih
dalam kehamilan, akan melakukan segala cara untuk melenyapkan si anak.
Fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah penghuni panti asuhan kebanyakan
adalah anak yang tidak diketahui keberadaan orangtuanya.
3. Kekerasan Pada Anak Menurut UU Perlindungan Anak
Defenisi anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002;
Defenisi
undang-undang ini mencakup janin, bayi, anak-anak sampai berumur 18
tahun. Undang-undang ini juga mengatur tanggung jawab sosial anak dan
tanggung jawab anak dimuka hukum.
Kekerasan
(Bullying) menurut Komisi Perlindungan Anak (KPA) adalah kekerasan
fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau
kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam
situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat
orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya.
Batas-batas
kekerasan menurut Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002
ini, Tindakan yang bisa melukai secara fisik maupun psikis yang
berakibat lama, dimana akan menyebabkan trauma pada anak atau kecacatan
fisik akibat dari perlakuan itu. Dengan mengacu pada defenisi, segala
tindakan apapun seakan-akan harus dibatasi, dan anak harus dibiarkan
berkembang sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya (Hak Asasi Anak). Hak
anak untuk menentukan nasib sendiri tanpa intervensi dari orang lain.
4. Kekerasan Pada Anak Menurut Pandangan Islam
Dalam Islam, batas usia seorang anak adalah setelah dia mendapat tanda-tanda baligh (mumayyiz).
Jika tanda-tanda ini mendatangi seorang anak, maka dia sudah beralih ke
masa dewasa, yang kepadanya sudah dibebankan tanggungjawab (dunia dan
akhirat).
Anak adalah hadiah terindah bagi orang tua sekaligus amanah bagi mereka. Seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an ibawah ini:
!$yJ¯RÎ) öNä3ä9ºuqøBr& ö/ä.߉»s9÷rr&ur ×puZ÷GÏù 4 ª!$#ur ÿ¼çny‰YÏã í�ô_r& ÒOŠÏàtã ÇÊÎÈ
Artinya: Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.
Dalam Islam, penanaman nilai-nilai moralitas
pada anak adalah hal yang sangat sentral. Moral/akhlak, adalah ukuran
baik buruknya atau sehat menyimpangnya perilaku seseorang. Moral/akhlak
menentukan seseorang bergaul dengan lingkungannya. Penanaman nilai-nilai
yang positif pada anak ini tidak langsung begitu saja tetapi melalui
waktu yang panjang, dari mulai seorang anak lahir bahkan sebelum lahir.
Orang tua atau pengasuh memegang peranan penting untuk perkembangan
perilaku/akhlak/moral anak. Pada usia anak adalah usia imitasi yang
paling dominan.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 9
Artinya: Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Generasi
yang tangguh, berakhlak yang mulia adalah tujuan pendidikan dalam
Islam. Mengapa umat Islam begitu bobrok hari ini? Jawabannya tidak lain
adalah pendidikan yang salah. Pendidikan yang dimaksud disini bukan
hanya pendidikan formal di sekolah, tetapi semua kejadian yang
disaksikan anak yang menjadi imitasi perilakunya.
Pendidikan
kepada anak, penanaman nilai-nilai moral dan akhlak memegang peranan
yang paling utama. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa:
Tidak
ada suatu pemberian yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya
yang lebih utama dari pada pemberian budi pekerti yang baik (H.R Tirmidzi dari Sa’id bib Al-‘Ash)
Dalam hadist lain disebutkan bahwa
Perintahlah
anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh
tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap
enggan mengerjakan shalat. (HR. Abu Daud dan al-Hakim).
Hadist
ini seakan-akan bertentangan dengan UU PA No 23 tahun 2002, dimana
disebutkan bahwa, tidak dibenarkan hukuman yang bersifat fisik. Hadist
ini mengacu pada kenyataan bahwa pendidikan dan pengasuhan anak harus
dalam proporsional. Hukuman fisik yang tidak proporsional, justru tidak
mendidik. Anak, jika dibebaskan begitu saja tanpa ada kontrol dari
orangtua, akan berdampak buruk pada perilaku anak.
Apabila seseorang diantara kalian memukul,maka hindarilah bagian wajah (HR Muslim dan Abu Dawud)
Jangan
memukul pada bagian-bagian yang bisa melukai anak secara fisik, ataupun
bagian lain dengan tanpa pertimbangan atau memukul dengan keadaan emosi
yang tidak stabil. Hal ini akan berakibat tidak bermamfaat, tidak
mendidik, melampaui ketentuan yang ditetapkan oleh Allah ataupun akan
menimbulkan kebencian dalam diri anak. Beberapa hadist lain yang
menerangkan hal ini, antara lain:
Tidak boleh melakukan hukuman cambuk lebih dari 10 kali dera, kecuali hanya dalam kasus pelanggaran yang ada hukuman hadnya (HR Bukhari, Abu Dawud, Ahmad).
Seseorang
yang benar-benar jagoan bukanlah orang yang dapat membanting orang
lain, melainkan orang yang jagoan ialah seorang yang mampu mengendalikan
dirinya saat sedang marah (HR Bukhari, Muslim, Ahmad)
Rasulullah tidak pernah memukul dengan tangannya, baik terhadap istri maupun pelayannya, kecuali bila berjihad di jalan Allah (HR Muslim).
Dari
beberapa hadis ini, dapat disimpulkan bahwa, kekerasan dalam islam
tidak dibenarkan sejauh tidak sesuai dengan ketentuan atau melebihi
batas. Kekerasan hanya digunakan sebagai langkah terakhir, dan digunakan
hanya dengan tujuan mendidik, bukan dengan tujuan menghukum tanpa
landasan, menghukum tanpa alasan, atau memukul tanpa ilmu adalah
perbuatan yang sia-sia.
Menurut Ibnu Khaldum,
barang siapa yang menerapkan pendidikannya dengan cara kasar dan
paksaan terhadap orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya, atau para
pelayannya, maka orang yang dididik olehnya akan dikuasai oleh serba
keterpaksaan.
ü Mendidik dengan keteladanan
ü Mendidik dengan Hiwar (Dialog)
ü Mendidik dengan kisah
ü Mendidik dengan perumpamaan
ü Mendidik dengan Ibrah dan Mauidhah
ü Mendidik dengan latihan dan pengalaman
ü Mendidik dengan Targhib dan Tarhib (reward and punishment)
Hadis lain disebutkan bahwa:
Nafkahilah
keluargamu dengan hartamu secara memadai. Janganlah engkau angkat
tongkatmu di hadapan mereka (gampang memukul) untuk memperbaiki
perangainya. Namun, tanamkanlah rasa takut kepada Allah.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bukhari dalam kitab Al-Adab al-Mufrad).
Di
sini sangat jelas bahwa, Islam tidak membenarkan adanya hukuman fisik
yang berlebihan (justru itu tidak mendidik). Justru UU PA No 23 tahun
2002, yang seakan memberikan kebebasan kepada anak tanpa ada kontrol
dari orang tua. Kontrol dari orang tua sangat diperlukan, untuk
pemahaman etika yang ada dalam dimasyarakat. Dengan kontrol ini anak
akan dapat membedakan perilaku baik dan perilaku buruk yang ada di
lingkungan. Hukuman disini hanya semacam perlakuan kondisi belajar. Jika
suatu tingkah laku akan dieliminasi, maka caranya adalah dengan
memberikan punishment. Sebaliknya jika suatu tingkah laku akan dimunculkan, maka akan diperkuat dengan permberian reward.
5. Kekerasan dalam Tinjauan Psikologi
Kekerasan
adalah salah satu bentuk agresi, dimana korban (anak) adalah objek
kekerasan/agresi itu. Perbuatan agresi adalah perilaku fisik atau lisan
yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain
(Mayers, 1996).
Berbicara mengenai kekerasan anak, akan ditemukan, bahwa anak bisa menjadi subjek/pelaku maupun objek kekerasan.
Anak sebagai pelaku kekerasan/subjek, biasanya dikarenakan ia memiliki
pengalaman sebagai objek kekerasan itu sendiri. Anak berperilaku seperti
itu sebagai bagian dari imitasi atupun pengekspresian
pengalaman-pengalaman mereka, entah itu disadari ataupun tidak.
Anak
selalu menjadi korban kekerasan, karena secara fisik, dia tidak dapat
mempertahankan dirinya. Kekerasan ini dapat terjadi dimana saja,
dirumah, sekolah, maupun lingkungan sosialnya. Rumah, seyogianya menjadi
tameng dan benteng pertahanan si anak untuk terhindar dari kekerasan
ini, tapi kekerasan kepada anak lebih banyak terjadi dirumah. Sekolah
sebagai suatu lembaga pendidikan yang akan memanusiakan anak secara utuh
sebagai persiapan untuk kehidupannya kelak, justru menjadi suatu momok
yang menakutkan dan menimbulkan trauma yang mendalam. Kekerasan yang
terjadi bukan hanya kekerasan fisik, tetapi yang lebih menyedihkan
adalah kekerasan psikis yang akan mempengaruhi kepribadiannya.
Kekerasan
pada anak tergantung pada pola asuh dan pola perlakuan kita terhadap
anak. Pola asuh anak juga sangat mempengaruhi kepribadian anak. Pola
asuh ini menentukan bagaimana anak berinteraksi dengan orangtuanya.
Hurlock (1998 : 30), membagi pola asuh menjadi tiga:
a. Pola asuh otoriter,
orang tua memberi peraturan yang dan memaksa untuk bertingkah laku
sesuai dengan kehendak orang tua, tidak ada komunikasi timbal balik,
hukuman diberikan tanpa ada alasan dan jarang memberi imbalan.
b. Pola asuh demokrasi,
orang tua memberikan peraturan yang luwes serta memberikan penjelasan
tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut.
c. Pola asuh permisif,
orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak tentang langkah
apa yang dilakukan anak, tidak pernah memberikan pengarahan dan
penjelasan kepada anak tentang yang sebaiknya dilakukan anak. Dalam pola
asuh ini hampir tidak ada komunikasi orang tua dan anak, serta hampir
tidak ada hukuman dan selalu mengijinkan segala keinginan anak.
Sikap
otoriter sering dipertahankan oleh orang tua dengan dalih untuk
menanamkan disiplin pada anak. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini,
anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja), dan menyerahkan
segalanya kepada orang tua. Di samping itu, menurut Watson, sikap
otoriter, sering menimbulkan pula gejala-gejala kecemasan, mudah putus
asa, tidak dapat merencanakan sesuatu, juga penolakan terhadap orang
lain, lemah hati atau mudah berprasangka. Tingkah laku yang tidak
dikehendaki pada diri anak dapat merupakan gambaran dari keadaan di
dalam keluarga.
Kebanyakan
orang tua yang menganut paham otoriter, menganggap anak bodoh sehingga
apa yang dikerjakannya memerlukan perintah yang tegas darinya. Ini akan
membungkam kreativitas anak.
Perlakuan
orang tua ataupun pengasuh kepada anak sangat mempengaruhi kepribadian
anak. Masa kanak-kanak adalah masa dimana anak menunjukkan ekspresi dan
eksistensinya sebagai seorang manusia yang utuh. Kegagalan dalam masa
ini, menurut Freud, akan terpendam dan menjadi pengalaman bawah sadar
anak, yang menjadikan pengalaman anak sebagai referensi dalam menjadi
hidupnya.
Menurut Freud, tingkah laku dan kepribadian seseorang tergantung pada fase-fase masa kecil anak (gold age).
Dia membagi fase itu kedalam lima tahap: Fase Oral (0 – 1,5 tahun),
Fase Anal (1,5 – 3 tahun), Fase Phallic (3 – 6 tahun), Fase Latency (6 -
pubertas) dan Fase genital. (Dewasa).
Freud
membagi masa kanak-kanak kedalam lima tahapan sesuai dengan objek
pemuasan (libido) pada anak (psikoseksual). Freud menganalisis
kepribadian seseorang sesuai pengalaman masa kecilnya, yang lebih
mengutamakan pada pemuasan (libido) pada tiap-tiap tahap perkembangan.
Apabila pada salah satu tahap mengalami hambatan, atau tidak/kurang
mengalami pemuasan maka akan berefek pada kepribadiannya kelak.
Keluarga
bertanggung jawab mengasuh anak dan merupakan tempat pertama kali anak
belajar berinteraksi dengan dunia luar (Wilson, 2000:44). Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan
salah satu aspek yang berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak.
Semakin tinggi tindakan kekerasan terhadap anak, maka semakin negatif
konsep diri yang dimiliki oleh anak.
Kekerasan pada anak dalam keluarga, biasanya tergantung dari pola asuh
orang tuanya/pengasuhnya. Jika anak selalu diancam, dimarahi, bahkan
disakiti secara fisik, dia akan ragu-ragu dalam bertindak karena takut
salah, akibatnya dia akan ragu-ragu dalam mengambil suatu inisiatif.
Ataupun anak akan mengalami poor emotion, kegagalan dalam bergaul
dengan orang lain, tidak mengerti perasaan orang, pendiam tapi agresif
dalam menanggapi respon yang datang.
Anak-anak
yang dalam perkembangannya mengalami kekerasan, akan mengalami
kekurangan afeksi (kasih sayang orang tua mereka). Padahal dari sisi
psikologis, anak sangat membutuhkan afeksi ini (attachment) untuk mengekplorasi lingkungan mereka. Attachment
adalah suatu relasi antara dua orang yang memiliki perasaan yang kuat
satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi
itu. Keterikatan (attachment)
mereka dengan orangtua/pengasuh akan menimbulkan rasa aman dan percaya
diri anak. Keterikatan ini adalah suatu ikatan emosional yang kuat
antara anak dan orangtuanya/pengasuhnya. Bagimana mungkin dapat
diciptakan suatu relasi yang harmonis antara anak dan orang tuanya jika
anak itu adalah selalu menjadi korban kekerasan.
Misalnya saja pada anak korban perceraian.
Anak korban perceraian akan merasa tidak dicintai, menyangkal akan
kenyataan yang dialami, sedih, ketakutan, marah, dan merasa bersalah.
Anak ini akan mengalami efek-efek yang merugikan terhadap harga dirinya
sehingga mereka mengangap dirinya anak ‘nakal’ yang telah menyebabkan
perceraian orang tua mereka. Anak korban perceraian akan menyesuaikan
kembali kehidupannya dimana mereka harus menghadapi perubahan-perubahan
praktis yang memerlukan banyak penyesuaian, seperti pindah sekolah,
pindah rumah baru pekerjaan rumah tangga yang lebih banyak dan
penyesuaian dengan pola pengasuhan anak yang baru. Ini akan menyebabkan
stress pada anak. Anak kemungkinan menarik diri dari pergaulan
sosialnya, lebih introvert, dan penyesalan yang mendalam akan
nasib yang dialaminya. Menurut Purwandari (2004 : 227) Pengalaman
traumatik mempengaruhi keseluruhan keseluruhan pribadi anak. Bagaimana
anak berpikir, belajar, mengingat, mengembangkan perasaan diri sendiri
tentang orang lain, juga bagaimana ia memahami dunia, semuanya tidak
dapat dilepaskan dari pengalaman traumatiknya.
Keadaan
ini akan mempengaruhi kepribadian anak kelak. Pengalaman-pengalaman
masa kecilnya adalah pengalaman yang paling berharga dalam hidupnya. Dan
pengalaman ini akan dijadikan referensi dalam mengatasi problem-problem
hidup ketika mereka dewasa kelak. Anak akan selalu merasa bersalah
sehingga memiliki self-concept yang salah.
Orang
tua/pengasuh ataupun orang-orang yang terkait dalam hal ini dalam suatu
keluarga adalah sumber keamanan bagi perkembangan anak, tempat ia
belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu yang
dibuat anak mempengaruhi keluarganya, begitu pula sebaliknya. Keluarga
memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan
kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula
pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Di samping
keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga
juga merupakan tempat sang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan
kebutuhan. Kebutuhan akan kepuasan emosional telah dimiliki bayi yang
baru lahir.
Bowlby (dalam Haditono dkk,1994) menyatakan bahwa hubungan antara orangtua/pengasuh (attachment)
akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali
dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kehangatan dan afeksi yang diberikan ibu
pada anak akan berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya (Ampuni,
2002).
Dengan
kelekatan ini, anak merasa nyaman dan aman dengan objek lekatnya
(ibu/pengasuh). Keadaan ini akan menjamin seorang anak untuk
megeksplorasi lingkungannya dengan baik. Seorang anak yang tidak
mendapat objek kelekatan yang memadai, misalnya anak yang mengalami
kekerasan akan terlihat apatis dengan lingkungannya, selalu merasa
curiga, dan celakanya anak dapat mengalami gejala miskin emosi (poor emotion).
Jadi,
syarat utama lingkungan yang sehat secara psikologi adalah lingkungan
yang bisa memberikan rasa aman bagi anak. Faktor ini bisa faktor aman
secara internal (orang tua/pengsuh) maupun eksternal (lingkungan
sosial). Keamanan secara internal adalah keamanan dalam membangun relasi
yang sehat dengan orang-orang disekitarnya. Keamanan eksternal lebih
pada keamanan dari lingkungan yang lebih besar. Tanpa ada jaminan
keamanan bagi anak, ia akan selalu merasa cemas dan menjadi pendiam.
Kaitan
antara berbagai faktor keluarga dengan prilaku yang anti sosial menurut
penelitian Sula Wolff (1985), ia mendapatkan factor-faktor berikut
secara statistik berkaitan dengan gangguan perilaku (dalam Dr. John.
Pearce, hal 120):
ü Tiadanya seorang ayah
ü Kehilangan orang tua lebih karena perceraian bukan karena kematian
ü Ibu yang depresif
ü Orang tua yang mudah marah
ü Ketidakcocokan dalam perkawinan
ü Keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan
ü Banyak anak
Dari
hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa, keadaan keluarga sangat
menentukan perilaku anak. Dari keluargalah akan melahirkan
generasi-generasi, yang potensinya tergantung dari stimulus-stimulus
yang diterima dari lingkungannya.
Perlakuan
yang salah terhadap anak, akan mendapat respon yang sama dari anak.
Kebanyan orang tua pelaku kekerasan terhadap anak adalah karena dimasa
kecilnya diperlakukan sama oleh orang tuanya. Perlakuan ini akan masuk
di alam bawah sadar, sehingga menjadi pola pengasuhan kelak. Jika hal
ini tidak diberikan pemahanan yang benar tentang pengasuhan anak yang
sehat, kemungkinan hal ini akan berlanjut seterusnya. Pengasuhan anak
membutuhkan suatu keterampilan khusus, berhubungan dengan mereka
membutuhkan kondisi emosi yang stabil.
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
Masa
depan anak dan generasi, kesuksesan maupun kegagalan banyak dipengaruhi
oleh peranan orang tua dan pengasuh di masa kecil anak. Orang tua
ataupun pengasuh yang efektif dalam pengasuhan anak untuk pemberian
aspek afeksi bagi anak sangat diperlukan. Komunikasi yang dibina dengan
semaksimal mungkin akan memberikan dasar terpenting dalam pendidikan
anak.
Pendidikan
yang diberikan kepada anak, untuk membuatnya patuh dan taat, tidak
selamanya dengan memberikan hukuman fisik. UU PA No 23 tahun 2003 dengan
jelas tidak membenarkan adanya hukuman yang bersifat fisik maupun
psikis yang berjangka waktu lama (traumatis).
Kekerasan
Terhadap Anak, Keefektifan pendidikan dan pengasuhan anak akan berhasil
membentuk generasi muslim yang dapat diandalkan, jika:
1. Kehidupan dalam keluarga muslim menerapkan prinsip-prinsip keluarga yang islami
2. Orang tua atau pengasuh mempuyai pengetahuan yang memadai tentang perkembangan anak.
3. Stimulasi lingkungan yang positif.
4. Orangtua atau pengasuh dapat menjadi teladan yang baik.
5. Sumber informasi yang mudah didapat oleh orang tua atau pengasuh.
6. Peraturan perundang-undangan yang mendukung.
Berangkat
dari suatu mimpi, bahwa kebangkitan dari umat ini harus untuk membangun
peradaban yang mulia, maka jawaban dari semua ini adalah persiapan
generasi pengembang amanah. Pengembang amanah (khalifah/pemimpin) adalah
manusia-manusia yang berbudi luhur, berkepribadian tangguh, adalah
syarat mutlak.
Mustahil
akan lahir kucing dari perut anjing, dimana anjing akan membesarkan dan
merawat serta mengasuh anak kucing menjadi pemimpin yang berkepribadian
amanah, ini sangat mustahil. Tapi emas akan tetaplah emas, walau ia
berada dalam lumpur. Pernah anda mendengar cerita anak elang diasuh oleh
induk ayam atau anak harimau diasuh oleh induk kambing?
Manusia adalah khalifah dimuka bumi, dialah emas yang terpendam itu, yang diasuh oleh induk ayam atau induk kambing. Induk yang salah akan melahirkan generasi yang salah. Generasi yang unggul lahir dari generasi yang unggul pula.
Sadar
atau tidak, apa yang diperbuat hari, merupakan warisan untuk generasi
masa depan. Anak-anak harus diselamatkan, kunci utama kebangkitan
generasi.
(Disusun Dalam rangka mengikuti LKTI UIN SYARIF HIDAYATULLAH, April 2009)
Referensi
Ampuni, S., (2002). Hubungan antara Ekspresi afek Ibu dengan Kompetensi Sosial Anak Prasekolah. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Cole, Kelly. 2004. Mendampingi Anak Menghadapi Perceraian Orang Tua. Jakarta : Prestasi Putakaraya.
Elfia Desi & Vivik Shofiah.2007.Hubungan Tindakan Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) dengan Konsep Diri. Fakultas Psikologi UIN Suska Riau: Jurnal Psikologi, Vol.3 No. 2.
Haditono, S.R., dkk, (1994). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hurlock, B. Elizabeth.1998. ”Perkembangan Psikologi Anak”. Jakarta: Erlangga
Kasmini Kassim.1998.Penderaaan Emosi Kanak-Kanak (Trauma Terselindung).Universitas Kebangsaan Malaysia.
Liputan 6.com, (2004). Pelajar SLTP Perkosa Tiga Anak. Online.Internet. Available http://www.liputan6.com/fullnews/76721.html
Pearce, John. 2000. Mengatasi Perilaku Buruk & Menanamkan Disiplin pada Anak. Jakarta : Arcan
Purwakania Hasan, Aliah B. 2006. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Purwandari, E. Kristi. 2004. Mengungkap selubung kekerasan. Bandung Kepustakaan Eja Insani.
Sarwono, Sarlito Wirawan.2005.Psikologi Sosial (Individu dan Teori-TEori Psikologi Sosial).Jakarta: Balai Pustaka
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Rahman, Jamal Abdur. 2005. Tahapan Mendidik Anak. Bandung: Irsyad Baitus Salam
Santrock, John W.2002.Life-Span Development.Jilid 1.Jakarta:Erlangga.
Shomad, M. Idris A. 2002. Pendidikan Anak dalam Rumah Tangga Islam. Jakarta : Pustaka Tarbiatuna
Wilson. 2000. Pengujian Hipotesis dalam Gaya Pengasuhan Orang Tua (Tesis). Univeritas Padjajaran Bandung.
Zulmansyah Sekedang, dkk. 2008. Selamatkan Anak-Anak Riau. Riau : KPAID Riau
Kasmini Kassim.1998.Penderaaan Emosi Kanak-Kanak (Trauma Terselindung).Universitas Kebangsaan Malaysia.
Dikuti
dalam Indra Sugiarno (Ketua Satuan Tugas Perlindungan dan Kesejahteraan
Anak Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP-IDAI)) dalam “Aspek Klinis Kekerasan pada Anak dan Upaya Pencegahannya”
Moralitas
adalah kapasitas untuk dapat membedakan yang benar dan yang salah,
bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan pernghargaan diri
ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika
melanggar standar tersebut. Lihat Aliah B.Purwakania Hasan dalam Psikologi Perkembangan Islam, hal 261
Dikutip dalam buku Jamaal Abdur Rahman.2005. Tahapan Mendidik Anak (Bandung: Irsyad Baitus Salam) Hal 176
Dalam Sarlito Wirawan Sarwono.2005.Psikologi Sosial (Individu dan teori-teori Psikologi Sosial).Hal 297
Elfia Desi & Vivik Shofiah. Hubungan Tindakan Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) dengan Konsep Diri. Fakultas Psikologi UIN Suska Riau: Jurnal Psikologi, Vol.3 No. 2, 2007. hal. 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar